Jumat, 15 Februari 2013

Kenangan Peristiwa G-30-S di Mata Abah Alwi

Senin, 01 Oktober 2012, 16:16 WIB
Soeharto dan G30S PKI
REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Alwi Shahab
Hari ini, 1 Oktober 2012, tepat 48 tahun peristiwa berdarah Gerakan 30 Sep tember 1965 atau (G- 30-S). Dinamakan demikian karena pada 30 September 1965, sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat, Menteri/Panglima Angkatan Darat Jen deral Ahmad Yani, mati terbunuh dan mayatnya dimasukkan ke sumur di Lubang Buaya, nama tempat di Jakarta Timur. Mereka adalah korban kudeta G-30-S/PKI.

Ketika saya membuat artikel ini, timbul berbagai versi tentang peristiwa yang berbuntut menyebabkan ribuan bahkan ratusan ribu anggota PKI dan simpatisannya jadi korban. Ketua Umum PBNU KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) bertahun-tahun setelah peristiwa itu pernah meminta maaf kepada mereka yang menjadi korban mengingat banyak di antaranya yang tidak bersalah.

Gus Dur mengakui, banyak warga NU terlibat dalam pembantaian terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI itu. Sekali lagi, lepas dari berbagai versi, bagi saya peristiwa yang telah menjatuhkan Bung Karno, merupakan pengalaman tak terlupakan meski telah berlangsung setengah abad.

Pada 30 September 1965, sebagai wartawan pemula di Kantor Berita Antara, saya ditugaskan meliput pidato Presiden Soekarno pada Rapat Teknisi di Istora Senayan. “Bung cukup lihat dan dengar dari televisi. Hanya pidato Bung Karno yang bung buat. Pidato lainnya tak usah,’’ kata Pak Suroto, staf redaksi.

Karena di kediaman tidak memiliki telelevisi, kala itu banyak warga tidak memiliki TV, saya meliputnya dari rumah teman, Said Basyaib. Dia putra Ali Basyaib, tokoh Persatuan Arab Indonesia (PA). Bapak AR Baswedan kalau datang ke Jakarta dari Yogya bermalam di kediaman kawan ini. Kala itu, TVRI baru siaran sore dan belum ada televisi swasta yang kini seabrek-abrek.

Dalam pidatonya, Bung Karno menyitir dialog antara Sri Kresna dan Arjuna dalam perang Baratayudha. Arjuna ragu-ragu karena dalam perang ini harus berhadapan dan membunuh saudara dan gurunya sendiri. Lalu, Kresna memberi semangat agar Arjuna tidak ragu dalam peperangan antara yang baik dan jahat ini.

Saya mau ceritakan, situasi harihari menjelang G-30-S sangat gawat. Hampir setiap hari, ada demo dari kelompok kiri yang paling keras menuntut dibubarkannya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) karena dituduh antek DI/TII. Dua hari menjelang G-30-S, Ketua CC PKI DN Aidit dalam rapat raksasa CGMI (organisasi mahasiswa PKI) di depan Bung Karno mengatakan, “Kalau tidak berhasil membubarkan HMI, anggota-anggota CGMI mengganti celana dengan sarung.” Dalam Harian Rakyat (23 September 1965), koran resmi PKI, Aidit mengatakan, “Alternatif lain dari Nasakom adalah berkelahi.”

Pada 30 September 1965, koran koran memuat pernyataan tokoh PKI Anwar Sanusi, “Ibu Pertiwi hamil tua, dan peraji (dukun beranak) sudah siap untuk kelahiran sang bayi.” Sebelumnya, Wakil PM I/Menlu Subandrio menyatakan pada resepsi ulang tahun Koran NU, Duta Masyarakat, “Akan terjadi kristalisasi, dimana yang dulunya kawan akan menjadi lawan.”

Sebelumnya juga santer berita Bung Karno sakit keras hingga didatangkan dokter dari Cina. Saya mendengarnya justru dari orang ‘kiri’ yang bertugas di Istana. Ada situasi memanas menjelang G-30-S. PKI dan diikuti kelompok kiri menuntut dibentuknya angkatan kelima berupa 15 juta buruh dan tani di persenjatai. Isu ini cukup lama dan men jadi berita utama koran-koran.

Tentu saja, usul ini mendapat tentangan keras dari ABRI, terutama Angkatan Darat. Dukungan Angkatan Udara yang terang-terangan dinyatakan KSAU Laksamana Omar Dhani. Ketika kelompok kiri bersikeras melalui demo-demo agar HMI dibubarkan, AD yang dengan keras menghalanginya, termasuk Bung Karno sendiri.

Pada Jumat, 1 Oktober 1965, siaran RRI, yang malamnya dikuasai G-30-S di bawah Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa, terlambat sekitar 20 menit. Ketika berita menyiarkan resimen ini telah menggagalkan kudeta Dewan Jenderal bukan saja mengagetkan saya, tapi seluruh masyarakat. Dari kediaman di Kwitang, saya menuju Panti Perwira (kini Markas Marinir) di Jalan Prapatan, Jakarta Pusat, untuk menghadiri jumpa pers HUT ABRI 5 Oktober 1965.

Karena acara dibatalkan, dengan jalan kaki saya menuju kantor redaksi harian Duta Masyarakat yang juga berada di Prapatan, seberang kiri patung Pak Tani. Di sini saya dapati staf redaksi Anwar Nurris yang pada 1980-an menjadi Sekjen PBNU. Tidak ada yang tahu di antara kami apa latar belakang peristiwa itu.

Ketika menuju Antara yang berkantor di Pasar Baru, melewati Monas terlihat sejumlah pasukan dengan senjata lengkap menghadang orang maupun kendaraan yang menuju arah Istana Merdeka. Di Antara, setelah shalat Jumat kami dapati rekan-rekan tengah berkerumun mendengarkan siaran RRI yang terus-menerus menyiarkan berita tersebut.

Siaran pukul 13.00 dan 14.00 menyatakan, “Gerakan 30 September” telah membentuk “Dewan Revolusi’” di ketuai Letkol Untung. Kabinet dinyatakan demosioner dan MPRS di bubarkan. Ditetapkan pangkat terting gi dalam ABRI adalah Letnan Kolonel. Anggota-anggota ABRI di atas pangkat ini harus menyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi. Bintara dan tamtama yang mendukung Dewan Revolusi pangkatnya dinaikkan setingkat. Mereka yang aktif membantu dewan dinaikkan pangkat dua tingkat.

Entah karena dorongan apa ketika pulang ke rumah pada sore hari, saya sengaja mendatangi gedung CC PKI di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tidak terlihat hal-hal luar biasa di markas CC PKI itu. Bendera palu arit masih berkibar dengan megahnya. Tapi, hanya beberapa hari kemudian, gedung ini ludes dilalap api karena dibakar massa yang marah. Sebagai pertanda dimulainya pengganyangan terhadap PKI. Kalau sebelumnya aksi-aksi dan demo dikuasai kelompok kiri, beralih dilakukan kekuatan antikomunis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar