Kamis, 07 Februari 2013

gambar : abi-dtective.blogspot.com
gambar : abi-dtective.blogspot.com
KENANGAN TERINDAH
Untuknya yang tidak bisa kusebut namanya
Aku punya sebuah cerita, kau mau dengar. Tapi ini sebuah cerita masa lalu. Ketika aku masih lugu benar-benar belum tahu apa-apa. Hmm.. cerita ini tentang cinta. Tentang pertama kali aku mengenal cinta.
Pagi itu, aku dihantarkan oleh Papa ke sekolahku yang baru, MTsN Tanjung Balai yang terletak dijalan M.T. Haryono di pusat kota. Aku, seorang anak pendiam dan rumahan itu pun sangat bungah sekali. Pasalnya aku sekolah dikota. Artinya setiap hari aku akan melihat kota. Tidak seperti sekolah SD ku dulu yang dekatnya dengan rumah minta ampun. Hingga setiap kali selesai sekolah aku langsung dipasung dirumah, tidak boleh kemana-mana sama Ibu.
Pendek cerita, aku pun mulai terbiasa dengan sekolah baruku. Meski aku masih selalu sendiri, aku tidak peduli itu. Karena aku memang sudah terbiasa sendiri. Sekolah kami bisa dibilang sekolah yang taat menjalani peraturan agama. Pasalnya, kepala sekolah kami waktu itu adalah sarjana lulusan al-azhar Kairo. Maka kelas putra dan putri dipisah. Anak putra dan putri hanya bisa bertemu pada saat jam istirahat yang hanya lima belas menit.
Heh, jangankan anak putri, sesama teman sekelasku saja aku masih malu. Tapi dalam kemalu-maluanku itu bukan berarti aku mati rasa. Aku bisa merasakan sesuatu yang bergetar dijantungku ketika setiap kali aku menatap wajahnya. Getaran itu terasa aneh dan tidak wajar. Setiap kali getaran itu terjadi aku merasa tidak tenang. Tapi dalam ketidak tenanganku itu aku bisa tersenyum puas. Benar-benar sesuatu yang aneh. Aku baru merasakan yang seperti itu dan hidupku. Apa aku sakit pikirku. Lalu kuacuhkan begitu saja pikiranku.
Waktu berlalu, aku pun semakin memperhatikannya. Kau tahu, dia sungguh wanita yang manis, matanya indah, senyumnya, membuatku seolah tidak bisa merasakan detak jantungku. Tapi aku, tetap saja tidak berani untuk berbuat apa-apa. Apa lagi untuk menegurnya. Setiap kali ia balik memandangku, aku hanya bisa menundukkan
kepalaku. Biarlah aku menjadi pengagum rahasianya. Mungkin suatu saat pengagum yang bodoh ini bisa menjadi sesuatu yang berarti baginya.
Setahun sudah berlalu, aku pun naik kelas dua. Waktu itu karena siswa sekolahku membludak jadi kelas satu dipisah dari kelas dua dan kelas tiga. Yang kelas dua dan kelas tiga ada di jalan M.Abbas tapi sayangnya tidak dipusat kota. Tapi bagiku itu tidak masalah. Setiap hari tidak melihat kota tidak masalah lagi bagiku sekarang asalkan setiap hari aku bisa melihatnya tersenyum indah.
Dia tidak hanya cantik dan manis tapi juga cerdas dan bijak. Semua guru mengenal dan menyukainya. Ditambah lagi semenjak kelas dua aku tidak pernah lagi melihat rambutnya terjulur walau satu helai. Muslimah yang solehah, rajin, … terasa kebas lidahku membahasakan kesempurnaannya. Memang sangat menyenangkan mempunyai perasaan itu. Tapi perasaan itu ibarat magma yang ada didasar gunung. Ia tidak bisa dipendam dan takkan terpendam selamanya. Pada suatu saat ia pasti akan keluar.
Aku si lugu yang pendiam itu pun perlahan mengerti akan hakikat dan kehendak perasaan itu. Itu ‘cinta’ renungku pada suatu hari didepan rumah. Tapi aku masih terlalu kecil kala itu sehingga aku tidak tahu untuk diapakan cinta itu. Apalagi jika kenyataan mengatakan bahwa dia tidak mencintaiku. Sakit sekali rasanya memikirkan hal itu. Memikirkannya saja aku sudah terenyuh bagaimana jika itu benar-benar kenyataan. Hal itu membuatku menjauh dan minder setiap kali aku bertemu dengannya.
Hari berganti hari, ia tumbuh semakin dewasa. Anak putra mulai mencoba untuk menarik perhatiannya. Meski ia tidak menyadari hal itu tapi aku sebagai salah satu pengagumnya sangat peka sekali terhadap yang seperti itu. Hingga kerap kali bathinku menyerngit setiap melihat dia dekat dengan siswa putra yang lain.
Setahun pun sudah berlalu lagi, cepat bukan. Sekarang aku sudah kelas tiga. Tinggal setahun lagi. Barang kali jika tahun ini selesai aku tidak akan bisa lagi melihatnya. Dan cinta yang mulai kukenal itu tinggal cinta tanpa bahasa. Memikirkan hal itu membuatku ingin sekali untuk menyapanya, hanya menyapanya. Tapi si bodoh yang
lugu ini masih tetap sebagai pemalu seperti sedia kala. Bagaimana aku harus menyatakan cinta. Mustahil.
Tapi tunggu dulu, Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kepala sekolah kami yang sarjana Al-Azhar itu turun jabatan. Otomatis peraturan disekolah itu berubah seratus delapan puluh derajat. Putra dan putri digabung menjadi satu kelas. Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi kabar itu. Gembirakah atau sedihkah. Dan aku terus berdoa agar satu kelas dengannya.
Ternyata doaku dijawab Tuhan. Para siswa putra dan putri yang mendapat nilai bagus akan dimasukkan kedalam kelas 31 , itu adalah kelas unggulan. Kalau dia tanpa diragukan lagi pasti masuk kelas itu. Tapi aku, disitu lah Tuhan menjawab doaku. Untung aku dijadikan-Nya sebagai salah satu siswa yang berprestasilah dibilang walau hanya sedikit. Yang pentingkan kami satu kelas.
Jantungku berdegub kencang ketika memasuki kelas hari pertama ajaran baru itu. Ia duduk tepat didepan guru. Sementara aku si pemalu duduk jauh dipojok belakang. Aku tidak menyangka, mungkin inilah yang disebut orang-orang sebagai keajaiban. Setiap hari aku jadi bisa melihatnya dengan mudah tanpa harus kekantin yang terkadang aku bisa menemukannya yang terkadang juga tidak.
Aku tidak tahu tepatnya kapan aku benar-benar berani menyebut namanya didepannya. Tapi hari demi hari berlalu begitu saja aku dengannya sudah mulai akrab.
Pertama-tama aku pun meminta nomor telponnya. Waktu itu anak kelas tiga tsanawiyah masih terbilang kecil untuk memegang handphone sendiri. Jadi dia memberikanku nomor handphone ayahnya. Setiap malam ia yang memegang handphone ayahnya itu. Entah itu ia sengaja atau memang seperti itu tabiatnya. Tapi itu sama sekali tidak menggangguku yang penting setiap malam aku bisa mendengar suaranya.
Aku sendiri pun menelponnya dari telpon rumah. Jadi, aku harus memastikan orang-orang dirumahku tidur semua dulu baru aku bisa menelponnya sepuas yang kumau. Tapi subhanallah, setiap malam ia mengangkat telponku. Aku masih ingat dengan
jelas nada sambung yang ia pakai waktu itu. ‘kenagan terindah’ dari Samson. Sehingga pada suatu hari, sampai sekarang jika aku mendengar lagu ini aku teringat akan dirinya.
Banyak sekali yang kami bicarakan. Setiap malam aku menelponnya sekitar satu jaman. Sehingga pada akhir bulan ibuku kebingungan akan tagihan telpon yang sangat mahal. Aku sendiri tidak mengerti, si pendiam dan si bodoh seperti aku ini bisa bicara panjang lebar seperti itu. Apa yang membuatku berubah sedimikian drastis pikirku. Cinta? Kalau itu benar-benar cinta maka aku akan menaruh tanda Tanya besar pada cinta.
Tapi aku hanya berani bicara panjang dan tertawa lepas seperti itu hanya ditelpon. Kami tidak berani menunjukkan keakraban khusus dihadapan orang banyak. Entah karena aku yang malu atau karena dia yang tidak mau. Tapi meski seperti itu, tetap saja ada orang yang tahu dan menggosipkan kami. Orang itu bukan sembarang orang, ternyata guru-guru juga menggosipkan kami.
Pernah suatu ketika guru-guru perempuan pada kumpul. Mereka memanggilku. Aku datang. Lalu salah satu dari mereka kalau tidak salah guru yang mengajar kami bahasa inggris menyuruhku memanggilkannya. Aku tidak tahu ada penting apa. Yang aku tahu tugasku hanya disuruh memanggilkannya. Setelah aku memanggilkannya dan ia menghadap keguru-guru itu, guru-guru itu pun memanggilku lagi. Aku dan dia berdiri seperti orang bodoh dihadapan para guru itu. Lalu guru-guru itu hanya menyenyumi kami. Bodoh bukan!
Hari pun berganti hari. Ada satu hal yang membuatku senang. Getaran yang selama ini kupancarkan seakan mendapat setitik signal. Dia kerap kali menoleh kebelakang. Entah apa yang ia lihat. Tapi setiap kali ia menoleh pandangan kami selalu bertemu. Selalu, selalu sekali. Hal itu sering kali membuatku tersenyum tatkala ia mengembalikan tolehannya keasalnya. Bukan hanya itu, bahkan ketika aku bicara dan dekat dengan wanita lain aku melihat kecemasan terpatri diwajahnya. Apakah ini sebuah lampu hijau pikirku mengangan-angan.
Kira-kira seminggu lagi hari ulang tahunnya. Aku menyepi sejenak untuk memikirkan kado apa yang harus aku berikan. Ini adalah pertama kalinya aku memberikan seseorang kado dalam seumur hidupku. Sesuatu yang sederhana, istimewa dan berarti. Aku memutar-mutar pikiranku dan akhirnya kutemukan. Aku akan memberinya sebuah jam tangan. Dengan harapan jika kelak kami sudah lulus dan memilih jalan masing-masing, ia tetap ingat denganku seperti ingatnya ia akan waktu.
Aku hanya bocah kecil yang sedang ketibun cinta. Aku tidak bisa meniru gaya orang-orang dewasa ditelivisi-televisi itu yang memberikan belahan hati mereka jam tangan berlian yang serba mahal. Akhirnya aku membeli jam tangan itu dipinggiran kaki lima. Hanya sebuah jam tangan manis berwarna pink. Tapi jam tangan itu bagus kok.
Sekali lagi aku bingung, harus aku apakan jam tangan itu?. Ku coba untuk membungkusnya dengan sampul kado yang bagus. Tapi bagaimana aku membungkus sebuah jam tangan yang tanpa kotak dan tanpa apa-apa. Aku pun melihat kalender, ternyata astaga, besok adalah hari ulang tahunnya. Aku harus menemukan sebuah kotak yang cocok untuk membungkus jam tangan itu. Kenapa aku tidak membeli kotaknya saja sekalian ketika membeli jam itu. Dasar aku bodoh, hal itu sama sekali tidak terpikirkan olehku.
Akhirnya malam itu kuputuskan keluar untuk mencari kotak jam tangan. Kau tahukan, rumahku dan kota lumayan jauh. Aku pun mengambil kunci motorku dan baru saja aku akan keluar hujan deras mengguyur tanjung balai lengkap dengan guruh dan kilatnya. Langkahku terhenti sejenak, teruskah atau menyerah. ‘tidak!’ berontak batinku lantang. Aku harus tepat waktu memberikannya pada hari ulang tahunnya. ‘ini adalah yang pertama, dan yang pertama harus sempurna’. Begitu aku memgang prinsipku kuat-kuat sehingga apapun yang terjadi didepan aku sudah siap dengan segala apa yang harus aku hadapi. Aku pun akhirnya menempuh badai itu. Hanya demi sebuah kotak jam tangan.
Paginya aku hampir sakit karena semalaman diterpa angin dan hujan yang deras. Tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak sekolah. Setelah mendapatkan kotak itu semalam aku kelelahan dan langsung tidur hingga aku lupa untuk membungkusnya. Sampai aku tiba disekolah jam tangan itu masih belum terbungkus. Lalu aku mencoba untuk membungkusnya didalam laci meja sekolah dengan tanpa sepengetahuan guruku dan teman-temanku. Kalau mereka tahu bisa malu aku. Tapi berjam-jam aku mencoba hasilnya tetap tidak membuahkan apa-apa. Ini pertama kalinya aku membungkus kado. Mungkin dalam keadaan yang tenang saja aku masih kesusahan untuk membungkus kado apalagi dalam keadaan seperti itu.
Tapi untung saja ada teman sebangkuku yang menolongku. Aku tidak perlu malu dengannya karena kami sangat dekat. Akhirnya dialah yang membungkuskan kado itu hingga rapi. Dan si guru, dari awal dia masuk sama sekali aku tidak memperhatikan pelajarannya.
Jam sekolahpun akan segera berakhir. Kebetulan jam terakhir waktu itu kosong. Jadi anak-anak bersorak ramai menyanyikan lagu ulang tahun untuknya. Waktu itu aku ikut merasa senang dan bahagia. Namun, disela-sela kebahagiaan yang kurasakan aku merasakan kegundahan yang tak sewajarnya. Seolah aku hanya ingin menjadi penonton atas ulang tahunnya yang diramaikan teman-temanku. Seolah aku merasa tidak berarti atau apalah namanya sehingga aku hanya bisa tersenyum dalam keminderanku. Kegugupan yang kuat pun menimpaku.
Aku mencari-cari kesempatan yang tepat untuk menyerahkan kado itu. Dimana hanya ada kami berdua tanpa terlihat oleh seorang pun. Karena aku tahu, jika ada orang yang tahu aku memberi kado itu dan menaruh perhatian khusus padanya ia pasti tidak suka itu. Aku berasumsi seperti itu bukan karena aku mengada-ada tapi memang setiap saat kami berdua dan hadir orang ketiga atau keempat selalu dia yang menjauh duluan. Itu salah satu keteguhannya menjaga kesuciannya dan aku suka itu.
Tak ada kesempatan bagiku. Ia ibarat ratu yang dimanjakan rakyatnya sehingga aku tidak mempunyai peluang untuk mendekatinya. Ia dilempari tepung, telur dan entah campuran apa lagi oleh teman-temannya. Mereka tertawa penuh ria. Dia pasti senang dan menikmati saat-saat itu. Aku mengerti dan aku tidak mau mengganggunya, sehingga aku pilih untuk meninggalkannya bersuka ria dengan teman-temannya.
Aku pun mengambil jalanku untuk kembali kerumah. Sepanjang perjalanan pulang kugenggam kado itu erat. Akhirnya aku tidak berhasil memberikannya kado tepat waktu. Sepanjang perjalanan pulang pula kuat sekali keinginanku untuk kembali kesekolah mengejarnya dan memberikannya kado itu. Tapi dalam keadaan seperti itu ia tidak mungkin ditinggal teman-temannya sendiri. Jadi percuma aku mengejarnya jika nantinya juga aku tidak mampu memberikannya.
Keesokan harinya, kado itu pun masih kubawa dalam tasku. Aku mencari-cari kesempatan untuk memberikan kado itu padanya. Tapi tidak ada celah untuk mendekatinya. Aku semakin gugup dan ragu. Aku semakin benci dengan diriku sendiri yang begitu bodoh dan tidak berguna. Hari itu pun berlalu tanpa ada perkembangan apa-apa. Lalu hari ketiga, keempat, dan seterusnya, aku hanya membawa kado itu dalam tasku namun aku tidak mempunyai cukup keberanian untuk menyerahkannya.
Hingga pada hari itu, satu minggu setelah hari ulang tahunnya. Ia sedang sendiri berdiri didepan pintu kelas. Kukumpulan semua keberanian yang aku miliki dari semenjak aku lahir dan kucoba untuk mendekatinya. Aku masih ingat senyumnya kala itu ketika aku menyapanya. Indah sekali. Lalu kujulurkan sebuah tangan yang menggenggam sebuah benda kecil bersampulkan kertas kado berwarna putih. Dan ia menerimanya. Kau tahu betapa gembiranya aku saat itu. Andai aku memiliki sayap dan bisa terbang seperti burung-burung akan kuberitakan kepada semua orang kegembianku.
Keesokan harinya, aku memeperhatinkannya terutama pada bagian pergelangan tangannya. Apakah ia menyukainya dan memakainya. Sangat susah sekali untuk dapat melihat pergelangan tangannya karena ia memakai gamis yang serba panjang. Tapi aku berhasil dan, tak ada sesuatu dipergelangan tangannya. Kupikir ia tidak suka.
Kebetulan setelah itu kami pulang bersama berjalan kaki mengitari jalan M.Abbas. aku dan dia, hanya kami berdua. Kami bisa bicara panjang lebar waktu itu. Lalu aku pun menanyakan perihal jam tangan itu.
“aku akan memakainya pada hari rabu, karena barang baru harus dipakai pada hari rabu”.
Begitu kira-kira jawabannya. Aku sendiri tidak tahu filosofi dari mana barang baru harus dipakai hari rabu. Tapi sudahlah itu tidak penting, yang penting bagiku ia menyukainya itu sudah cukup. Hari rabu pun tiba, ternyata benar ia memakainya. Dan ia terus memakai jam tangan pink itu sampai kami lulus kelas tiga.
Hari pun terasa semakin cepat berlalu. Tidak terasa hanya tinggal beberapa bulan lagi kami akan menghadapi ujian nasional dan akan berpisah. Aku pun mengumpulkan keberanian dari semenjak takdir mengatakan aku akan tercipta. Tapi bukan untuk memberikan kado melainkan untuk mengatakan cinta padanya.
Malam itu, pada malam minggu. Kala itu aku sudah memegang handphone sendiri. Mungkin karena aku sudah lebih tumbuh dewasa sedikit. Aku persiapkan segala sesuatunya. ‘Aku harus mengatakannya malam ini’ pikriku. Sekitar pukul sebelasan malam aku masih duduk diayunan didepan rumahku. Memandangi bintang-bintang sambil memetik gitar kesayanganku. Menunggu keberanian itu berkumpul disanubariku. Lalu kuputuskan untuk menelponnya.
Seperti biasa, kami bercerita tentang apa yang bisa kami ceritakan sebagai seorang teman dalam satu kelas. Tawa-tawa kecilpun menemani cerita-cerita kami. Hingga akhirnya kucoba untuk bicara serius.
“aku … aku …”
lalu aku mengalihkan pembicaraan dari maksudku.
“aku … aku …”
kualihkan lagi pembicaraan dari maksudku. Dan begitu lagi. Dan begitu lagi sampai terulang berkali-kali.
Kemudian malam itu, disaksikan para malaikat dari sorga, disaksikan langit dan bumi, disaksikan bintang gemintang dan disaksikan rintikan hujan yang mulai turun membasahiku dan gitarku. Aku mengatakan padanya apa yang selama ini kupendam sebenarnya. Bahwa aku si bodoh dan lugu jatuh cinta kepadanya.
Jantungku berdetak kencang, nadiku berdenyut samar, nafasku sesak tersendat-sendat setelah kalimat cinta keluar dari mulutku. Sampai-sampai aku tidak
merasakan rintikan hujan membasahiku dan gitarku. Itu pertama kalinya aku mengatakan cinta pada seorang gadis.
Ia minta waktu seminggu untuk menjawabnya. Dan aku sabar. Menunggu seminggu berlalu memang sebentar tapi tidak untuk menunggu cinta. Setiap detiknya kulalui dengan penuh kegelisahan dan bertanya-tanya apa nanti jawabannya. Ketakutan yang dulu kubayang-bayangkan bila cintaku bertepuk sebelah tangan seolah terasa akan menjadi kenyataan.
Dan seminggu pun berlalu. Ia tampak menjauh dari ku. Lalu malam itu, kucoba untuk menghubunginya lagi dia bilang :
“kita jalani saja sesuai dengan syariat Islam”.
Sampai sekarang aku berpikir-pikir tentang arti perkataannya itu. Apakah itu lampu hijau atau lampu merah. Kupelajari Islam secara menyeluruh, kugali dalil-dalil syariat yang ada dalam kitab dan sunnah, bahkan kucari rumusan-rumusan fuqaha’ dalam kitab-kitab klassik tentang cinta yang sesuai dalam syariat Islam, aku tidak menemukan adanya cinta yang diizinkan sebelum pernikahan.
Tapi waktu itu aku tidak menyadari akan hal ini. Aku pikir dia memberiku jawaban yang tidak mengecewakan karena dia bilang “kita jalani saja”. Itulah bodohnya aku. Tapi meski begitu kami tetap akrab. Aku tidak merasakan adanya perubahan diantara kami.
Aku pun sungguh sangat gembira sekali banget mendengar jawabannya. Setiap kali makan, belajar, main gitar aku selalu tersenyum dan tersanjung memikirkannya. Tapi sayang aku mengungkapkannya disaat-saat kami akan berpisah.
Ujian nasional selesai. Seluruh anak kelas tiga akan mengadakan acara perpisahan. Tapi sayangnya acara perpisahan kali ini tidak bisa kami laksanakan didalam sekolah karena waktu itu ada sedikit masalah antara kami dan bapak kepala sekolah sehingga ia marah dan tidak mengizinkan kami menyelenggarakan acara perpisahan. Tapi kami tidak mau menyerah kami terpaksa menyewa gedung untuk menyelenggarakan acara terakhir yang bagi kami sangat berarti sekali tanpa persetujuan dari beliau.
Lalu di acara itu, pertama kalinya aku berpose berpoto berdua dengan sorang gadis. Ya, aku berpoto berdua dengannya. Awalnya kami sangat dekat dan aku yakin poto
itu pasti sangat manis nantinya. Tapi sayang pada saat-saat terakhir pelatuk kamera terpencet, guru bahasa inggris kami sengaja datang senyum-senyum memandangi kami. Hingga akhirnya kami pun malu dan menjauh satu sama lain dan terpencetlah pelatuk kamera sialan itu.
Lalu aku memberinya sesuatu yang mungkin tidak ada artinya bagi kalian tapi sangat berharga bagiku. Aku memberinya satu-satunya foto masa kecilku. Sebuah foto yang selalu kujadikan sebagai profil dompetku.
Lalu pada suatu malam, disaat-saat aku memikirkan pilihanku untuk melanjutkan studyku keluar kota. Aku mendengar suara yang tidak asing lagi bagiku bergabung di radio FM Tanjungbalai. Ya, dia menelpon dan ikut bergabung diradio itu dan merequest lagu ‘kenangan terindah’ dari Samson untukku. Sangat indah sekali mengenang masa lalu.
“jika suatu saat nanti kita dewasa, apakah kita bisa mengikat sebuah janji?”
Setelah lulus tsanawiyah, aku melanjutkan studyku keluar kota. Jauh sekali dari kota Tanjungbalai. Sehingga aku tidak pulang bertahun-tahun kerumah. Selulusku dari aliyah aku pun melanjutkan studyku keluar negeri. Puluhan tahun hingga aku menyelesaikan S2 diluar negeri dan kembali ketanah air dan kampung halaman.
Sekarang kota kelahiran yang waktu kecil kubangga-banggakan telah berubah menjadi kota yang tidak aku kenal. Semua menjadi asing bagiku. Bahasanya, pergaulannya, bahkan bangunan-bangunannya. Hanya ada dua hal yang tidak berubah dari semenjak aku kecil hingga sekarang. Langit dan laut. Itu sebabnya kenapa aku begitu sering dan senang memandang langit dan laut. Karena ketika aku memandang kedua ciptaan Tuhan itu aku menemukan ketenangan masa laluku.
Disuatu tempat yang asing bagiku di kota kelahiranku. Ada seorang anak kecil sedang berlari-lari mengelilingiku kemudian menarik-narik celanaku. Anak yang manis. Lalu aku jongkok menyapanya.
“adik baik, ibumu mana? Bahaya lho disini sendirian.”
Anak itu cengir melebarkan senyumannya.
Lalu tiba-tiba seorang wanita datang mengenddongnya.
“anak bandel, mama cari kemana-mana”.
Aku tersentak mendengar suara itu. Seoalah suara itu sangat familiar bagiku. Tapi puluhan tahun yang lalu. Aku pun perlahan bangkit dan menatap ibu si anak itu. Dan pandangan kami bertemu. Seolah ada kisah yang tertuang dalam temuan pandangan itu. Seolah ada kerinduan yang terhangatkan dalam ukiran pandangan itu. Lalu seorang lelaki berlari dari belakang dan mengajaknya pulang bersamanya.
Gadis yang dulunya ku puja itu telah tumbuh dewasa dengan sempurna. Ia telah menemukan kebahagiaannya. Kini, ia bahagia dengan keluarga kecilnya. Biarlah kenangan dulu khayalan baginya namun nyata bagiku. Biarlah semuanya kusimpan sebagai kenangan yang terindah.

bila yang tertulis untukku
adalah yang terbaik untukkmu

kan kujadikan kau kenangan


yang terindah dalam hidupku


namun takkan mudah bagiku


meninggalkan jejak hiudpku







Cerita kenangan indah



Kini semua hanya tinggal kenangan. .
meski pahit yang kurasakan saat ini. . .
tapi kau tetap yang terindah. .
yang bernaung bersama benak ku, ,
aku takut ,,,
tidak bisa merasakan belaian manja seperti mu lagi. .
yang mampu membuat ku terbang. .
merasakan setiap sentuhan yang membakar cinta dan asa ku..
aku tidak prnah membencimu
meski kamu membenciku
aku tidakkan pernah marah pada mu
meski kamu marah pada ku. .
Dulu bersama mu membuat hidupku indah
dulu bersamamu membuatku seakan bangkit dr kematian. . .
bagi ku kamu adalh malaikat kecilku
bagi ku kau adalah nafas dlm hdup ku. . .
bagi ku kaulah segalanya. . .
pada sekuntum mawar mekar
dan ari sungai mengalir
disitu kulihat wajahmu. .
dan terlukis kenangan indah bersamamu
semua nostalgia yang lalu
tidak mudah aku lupakan
dan akan kusimpan erat – erat
didalam sebuah potret wajah kita bersama
kenangan yang lalu membawa manisnya dalam indah
membawa cerita yang panjang. .
dimana setiap berbagai kata tercipta
mengawali hari yg penuh tawa dan suka. .
saat terpejam mengulang lagi sedetik kejadian
disaat semua berawal ku buka kembali jendela kehidupan
dimana bertemunya para merpati bercanda riang
diladang yang hijau cermin cerita laluku
banyak para penghuni memandang cinta ku
berbagai bunga dan rumput menyaksikan candaku
bersama para langit yang menjulang terdiam sejenak
dengan pesona terindah sepanjang masa yang pernah ada
semua tinggal kenangan
aku mengusung tombak berujung dendam
saat ku lelah menikam langit malam
terlihat jelas langkah diatas tanah
aku terlelap dirimbun rerumputan
merabah diri meniduri masa silam
dibawah indah sang rembulan
dan mimpi ku terkecambah dalam kesedihan
kucoba genggap ketentuan allah
saat kau pergi dan cinta kita tinggal kenangan
wahai tulisanku sampaikan salam ku buat org yg pernah mengisi indah memori kenangan laluku,,,!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar